Belum lama ini, Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro menyelenggarakan Visiting Professor dengan tema, “The Phenomenology of Javanese Performing Arts: Topics and Posibilities for International Publications”, mengundang pembicara Associate Professor Jan Mrázek, dari Department of Southeast Asian Studies, Faculty of Arts and Social Sciences National University of Singapore (NUS). Visiting Professor ini diselenggarakan selama 3 hari berutut-turut secara daring via platform Zoom.
Dr. Dhanang Respati Puguh, M. Hum., selaku Ketua Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro, menjelaskan agenda-agenda penting dalam Visiting Professor selama tiga hari itu. Pada hari pertama, diselenggarakan Academic Meeting, yang menjadi medium bagi para peserta untuk berinteraksi dengan pembicara, sembari menceritakan rencana penelitian yang sedang ditulis oleh masing-masing peserta. Pada hari kedua, diisi dengan uraian ceramah dengan tajuk Fenomenolgy of Javanese Performing Arts dan konsultasi artikel ilmiah untuk publikasi di jurnal internasional bereputasi. Hari ketiga, diisi dengan konsultasi artikel ilmiah para mahasiswa Sejarah, baik S1, S2, maupun S3.
Dalam kesempatan ini, Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Dr. Nurhayati, M. Hum., menyampaikan dukungan penuh atas penyelenggaraan Visiting Professor mengundang pembicara dari NUS, “saya berharap fasilitasi konsultasi artikel ilmiah dapat mendorong para mahasiswa semakin giat menyelesaikan riset dan mempublikasikan artikelnya di jurnal, baik nasional, internasional, maupun internasional bereputasi.”
Ceramah tentang fenomenologi itu penting karena memperhatikan kenyataan dalam pengalaman manusia atau kehidupan sehari-hari. Tradisi fenomenologi tampak seperti dialektika antarfilsuf. Ada beberapa filsuf yang prominen dan seringkali diasosiasikan dengan fenomenologi, antara lain Edmund Husserl, ia dianggap sebagai pioneer dari fenomenologi. Dia adalah seorang Yahudi yang tinggal di Ceko (dahulu disebut Kerajaan Austria Hongaria), Husserl mengutamakan pengalaman subjektif sebagai sumber dari segenap pengetahuan tentang fenomena objektif yang ada. Selain Husserl, Martin Heidegger, dianggap sebagai filsuf abad ke-20 yang paling penting sekaligus kontroversial karena pernah bergabung dengan Partai Nazi (NSDAP) pada 1 Mei 1933. Heidegger banyak menelusuri pertanyaan ontologis, seperti apa artinya bagi manusia untuk berada. Ada pula filsuf lain, yaitu Merleau-Ponty, filsafatnya semula banyak dipengaruhi oleh fenomenologi dari Husserl dan Heidegger. Filsafat Merleau-Ponty mengkaji tentang kesatuan rasa, pegalaman rasa, konsep negara, dan keutamaan persepsi.
Fenomenologi menyebar ke berbagai aspek, misalnya dalam bidang pertunjukan seni atau teater. Fenomenologi pertunjukan menekankan pada kenyataan, pengalaman, peristiwa, dan pertunjukan. Sebelumnya, diskursus tentang pertunjukan teater Eropa seringkali hanya fokus pada analisis teks atau biografi untuk melihat arti dan simbolismenya, sehingga cenderung mengesampingkan arti penting dari pertunjukannya. Namun, dalam fenomenologi justru lebih menekankan pada gelaran pertunjukan itu sendiri. “Sebagaimana terminologi “fenomenon”, fenomenologi berusaha mengungkapkan diri sebagaimana ia mengungkapkan diri. Suatu dialog antara saya dan apa-apa yang saya lihat, rasakan, dan tanggapi,” ungkap Associate Professor yang merupakan pendiri NUS Singa Nglaras Gamelan Ensemble itu.
Hal yang menarik adalah bagaimana fenomenologi dapat dipakai untuk menulis dan menyelidiki seni pertunjukan, kebudayaan, atau sejarah. Fenomenologi bisa menjadi sumber inspirasi untuk menyelidiki seni pertunjukan Jawa. “Misalnya saya sebagai peneliti wayang, saya tidak melihat wayang jauh dari objek riset atau hanya membaca buku tentang pertunjukkan wayang, tetapi data utama haruslah berasal dari pengalaman saya ketika menyaksikan pertunjukan tersebut. Si peneliti juga harus masuk di situ, tidak bisa dari luar.”
Visiting Professor ini juga menjadi medium konsultasi para mahasiswa yang tengah menyelesaikan penelitian. Ada belasan mahasiswa yang mempresentasikan penelitiannya secara bergantian, “saya berkonsultasi mengenai rencana topik skripsi saya mengenai majalah Aktuil sebagai salah satu media massa yang berpengaruh bagi perkembangan musik rock di Indonesia pada 1967-1986. Saya senang sekali mendapatkan kesempatan untuk berkonsultasi dengan Dr. Jan Mrázek, beliau memberikan banyak masukan dan bahkan menyertakan literatur tambahan yang dapat mendukung rencana penelitian saya,” terang Debora Alfi Teofani, mahasiswi semester 7 program studi S1 Departemen Sejarah FIB Undip.
Associate Professor Jan Mrázek juga menyebut jurnal-jurnal yang dapat dituju untuk riset bernuansa kultural, antara lain JSEAS, Japanese Journal of Southeast Asian Studies, Sojourn, Indonesia (Cornell), Indonesia Circle, Indonesia and the Malay World, Archipel, BKI, Asian Theater Journal, Asian Music, Asian Studies: Journal of Critical Perspectives on Asia, Archiv Orientalni, Kritika Kultura, dan sebagainya. (Fanada / Sejarah)