Semarang- Sejarah Undip- Dengan mengusung tema yang futuristik, “Eksplorasi Isu Strategis dan Hilirisasi Penelitian Sejarah dan Budaya dalam Rangka Menuju Universitas Riset”, Program Studi S2 dan S3 Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Diponegoro menyelenggarakan Webinar Nasional. Acara ini menghadirkan dua pembicara yang kompeten di bidangnya, yaitu Prof. Dr. Bambang Purwanto, M.A. (Universitas Gadjah Mada) dan Prof. Dr. Herwandi, M.Hum. (Universitas Andalas). Acara ini diselenggarakan pada 30 September 2020 melalui platform daring.
Webinar ini dibuka oleh Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Dr. Nurhayati, M.Hum. “Topik ini relevan dengan kebutuhan di Universitas dan PT di era sekarang. Salah satu tuntutan pemerintah di era industri 4,0. Perguruan Tinggi harus bersinergi baik dengan PT Lain di dalam dan luar negeri, maupun dengan institusi, dan masyarakat di dalam membersamai era revolusi industri,” terang Dr. Nurhayati, M.Hum., dalam sambutannya.
Dr. Nurhayati juga melihat bahwa ilmu sejarah adalah ilmu yang dinamis sehingga mampu menjadi garda terdepan dalam menghadapi Revolusi 4.0.
Seminar ini dimoderatori oleh Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, M. Hum. (Guru Besar Sejarah Universitas Diponegoro). Prof. Singgih membuka diskusi dengan pemahaman yang menarik terkait gejala baru yang dialami oleh ilmu-ilmu pengetahuan, termasuk ilmu sejarah di Era Disrupsi Informasi.
Ada penjungkirbalikan nilai-nilai yang selama ini telah dianggap mapan, yakni masuknya muatan ekonomi yang sangat kental, yang berujung pada komersialisasi ilmu pengetahuan. Mula-mula ekspansi itu sudah terasa pada bidang eksakta dan teknologi -yang memang memiliki peran dan fungsi sangat praktis untuk meningkatkan kemakmuran dan peningkatan ekonomi masyarakat-.
“Namun, saat ini kita mulai merasakan situasi yang agak aneh. Bahwa Ilmu budaya, termasuk sejarah akan ditarik ke ruang yang tadinya sakral menuju komersialisasi. Kebijakan Kemenristek Dikti juga mulai menyasar ke hal itu.” terang Professor yang pernah menjadi pembicara kunci di Brussel itu.
Prof. Herwandi, pembicara pertama dalam acara ini menjelaskan bagaimana posisi ilmu sosial humaniora yang seringkali termarginalkan. Didalam perkembangan sejarah keilmuan, mulai abad ke-18. Ada anggapan bahwa Ilmu yang paling benar itu adalah itu alam karena dapat menghasilkan model yang dapat dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan masyarakat umum dan memperkuat kekuasaan negara. “Sejarah keilmuan menempatkan ilmu eksakta sebagai primadona, yang bersinggungan langsung dengan persoalan masyarakat. Sehingga negara membutuhkan ilmu eksakta, seperti Ilmu perkapalan, kelautan, perbintangan, kedokteran, dan ilmu Ilmu ekonomi,” jelasnya.
Memang ada pemikiran yang berkembang di kalangan akademisi humaniora, jika ingin dikatakan sebagai ilmu yang berguna, harus memakai metodologi sebagaimana ilmu eksak. Oleh sebab itu, dalam konteks hilirisasi sejarah, Prof. Herwandi memberi pandangan bahwa sejarah tidah boleh hanya terbatas atau berhenti pada kertas-kertas penelitian, penulisan sejarah, buku, jurnal, skripsi, tetapi juga film dokumenter, film sejarah atau budaya, teater sejarah atau budaya, replika, seni patung, seni batik dan tenun, seni sablon dan relief, diorama, dan lainnya.
Pada era informasi dan teknologi yang tengah berlangsung seperti sekarang ini, sangat penting bagi ilmu sejarah untuk melakukan adaptasi dan memberi ruang yang luas bagi proses kreatif.
Selanjutnya, Prof. Dr. Bambang Purwanto, M.A., mengungkapkan tentang beberapa agenda yang bisa ditindaklanjuti terkait isu-isu strategis dalam sejarah, misalnya sejarah makanan sehat, sejarah kehidupan sehari-hari pola hidup sehat, sejarah mentalitas kolektif dari tindakan irasional ketika berhadapan dengan wabah, sejarah kebudayaan yang berhubungan dengan penyakit, sejarah obat obatan dan konsumsinya, dan lain lain.
“Keberadaan pemahaman dan pengetahuan yang memadai atas masa lalu, akan memberi ruang bagi sejarah sebagai ilmu untuk memberi kontribusi yang dapat digunakan sebagai bahan referensi dalam kebijakan,” terangnya.
Catatan penting yang bisa diambil dari pemaparan Prof. Bambang, sejarah tentu saja tidak memiliki hak prerogatif untuk menentukan kapan covid akan berakhir, tetapi sejarah mampu menunjukkan kepedulian terhadap masa kini dan masa depan yang berkelanjutan. Maka sejarawan harus memiliki kepedulian terhadap masa depan (concern for the future).
Prof. Singgih menyimpulkan bahwa kajian sejarah tidak boleh terus berada di menara gading, tetapi harus down to earth, yakni turun ke bumi agar bisa memberi manfaat bagi masyarakat. Seminar ini adalah ikhtiar konkret kita untuk mengaji Kembali relevansi sejarah dalam menyelesaikan persoalan kontemporer, yang lekat dengan kepentingan ekonomi.