Semarang- 7 November 2016, bertempat di Gedung Serbaguna Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro (Undip), Kuliah Umum bersama Hilde Janssen, penulis buku berjudul “Tanah Air Baru Indonesia (Enkele Reis, Indonesia)” berlangsung meriah. Hadir lebih dari seratus mahasiswa Undip. Acara ini merupakan kerjasama Departemen Sejarah Universitas Diponegoro dengan Penerbit Gramedia dan Widya Mitra. Buku berlatar historis setebal 336 halaman itu dibedah oleh Triyanto Triwikromo, sastrawan dan Redaktur Suara Merdeka. Buku ini lahir dari ketertarikan Hilde pada selembar foto yang didapatinya saat menghadiri pameran peringatan 65 Tahun Republik Indonesia. Foto itu bertuliskan: “Miny (memegang ukulele) dan Annie dalam perjalanan kereta api dari pelabuhan Jakarta ke Yogyakarta, di perbatasan Kranji, Januari 1947. Di antara mereka berdiri suami Annie, Djabir, di depan mereka seorang militer Belanda (arsip foto Antara Jakarta, foto IPPHOS).” Ia akhirnya mempertanyakan mengapa para wanita itu justru pergi ke wilayah Jawa yang bermusuhan dengan Belanda. Padahal, situasi politik di Indonesi tengah bergolak. Terlebih perawakan kulit mereka yang putih dapat dengan mudah diasosiasikan negatif oleh para pribumi yang pada waktu itu tengah berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Berdasar penelusuran yang dilakukannya, Hilde akhirnya mendapatkan informasi bahwa keempat wanita yang berpose di foto itu adalah Annie Kobus dan kedua saudarinya, yaitu Betsy dan Miny, serta Dolly. Usia mereka sekitar 20 tahun ketika bertolak dari Amsterdam pada akhir 1946 bersama suami-suami mereka yang merupakan orang Indonesia. Mereka tidak merasakan ketakutan yang berati saat kembali ke Indonesia, justru memilih untuk berkeliling Jawa. Keputusan yang mereka ambil untuk berangkat ke Indonesia dilandasi oleh kemantapan hati bahwa mereka adalah warga negara Indonesia karena menikah dengan orang Indonesia/ “Saya mendukung Republik.” Baginya dan wanita-wanita lain yang tiba di Indonesia menyatakan dengan tegas bahwa dengan memilih suami Indonesia berarti memilih tanah air yang baru, yakni Indonesia (lihat hlm 19). Wanita-wanita asal Belanda itu akhirnya terlibat dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, bahkan berkomitmen untuk memberi dukungan pada Indonesia pada tahun-tahun berikutnya. Penulis juga merupakan seorang Belanda, ia mampu memahami kondisi psikologis keempat wanita yang ditulisnya dengan cukup baik. (FS)
Komentar ditutup.