Ditulis oleh: Fanada Sholihah
Bertempat di Gedung Serbaguna Fakultas Ilmu Budaya Undip, gelaran bedah buku “Hikayat si Induk Bumbu: Jalan Panjang Menuju Swasembada Garam” yang diselenggarakan oleh Program Doktor Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro bekerjasama dengan Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Forum Diskusi Ekonomi Politik (FDEP) dan Himpunan Ahli Garam Indonesia (HAGI) berlangsung meriah pada Senin (9/4/18). Turut hadir berbagai kalangan dari civitas akademik Undip, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan dari berbagai Kota, di antaranya Semarang, Rembang, Demak, Jepara dan Brebes dan Kepala Dinas Perindustrian dan Pedagangan Provinsi Jawa Tengah dan kota Semarang acara bedah buku berlangsung meriah. Bersama dengan para pembicara, yaitu Prof. Dr. Ing. Misri Gozan (UI), Dr. Makhfud Efendy (UTM), Faisal Basri, M. A (UI), Prof. Dr. Singgih Tri S., M. Hum (FIB Undip) selaku pembahas, Prof. Dr. Yety, Rochwulaningsih, M. Si selaku moderator diskusi berlangsung begjtu cair.
Berangkat dari judul bukunya, kita akan menyadari bahwa penggunaan istilah Hikayat bukan sekadar “tempelan” tanpa pesan. Kita akan dengan mudah menemukan istilah “Hikayat” dalam risalah-risalah kesejarahan, yang sarat dengan unsur-unsur magis dan sakral.
Istilah “Hikayat” seolah sengaja dihadirkan untuk mengajak para pembaca sejenak berpikir secara historis, bahwa ada local genius dari masa lalu yang turut memperkaya khasanah kebudayaan hari ini.
Setidaknya, khasanah kebudayaan itu terdokumentasikan didalam Prasasti Biluluk dari Majahapit yang diperkirakan dipahat pada abad XIV, didalamnya menyinggung soal produksi garam di daerah yang kini berada di pesisir utara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kala itu, garam dibuat dengan cara mengalirkan air laut ke ladang-ladang penjemuran di pesisir dan diuapkan dengan sinar matahari.
Sementara istilah “Si Induk Bambu” mengacu pada Garam, yang merupakan induk dari segala bumbu dapur. Betapapun lengkapnya racikan bumbu, tapi tanpa membubuhi garam, hidangan di meja makan akan tetap dianggap hambar.
Penyatuan dua istilah itu seolah hendak mengetengahkan isu pergaraman sebagai kajian yang sama pentingnya dengan hikayat-hikayat lainnya, yang terus diceritakan dan dianalisis seperti halnya Hikayat Hang Tuah atau Hikayat Raja Ali Haji.
Prof. Dr. Singgih Tri Sulitiyono, guru besar Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Undip yang siang itu berkesempatan menjadi pembedah buku menelaah tentang konten buku ini, setidaknya ada 3 hal yang menjadi fokus utama: Pertama, mengapa upaya menjadi swasembada garam tidak kunjung tercapai. Kedua, apa saja tantangan yang dihadapi. Ketiga, langkah apa yang bisa dilakukan untuk mencapai swasembada garam.
Buku ini menarik karena tidak hanya membentangkan hal-hal yang definitif mengenai garam konsumsi maupun industri, tetapi juga bagaimana dan mengapa garam menjadi komoditas ekonomi yang penting. Hal ini bisa dipotret dari sepak terjang garam dalam membangun dan menjatuhkan kota-kota. Sebelum tambang-tambang garam Cheshire ditemukan, Liverpool hanyalah pelabuhan kecil. Pada penghujung abad XVII, tambang garan Chesire ditemukan dan segera menjadi salah satu sumber garan Inggris. Pelabuhan Liverpool menjadi tempat paling strategis untuk mengirimkan garam ke berbagai negara. Di samping Liverpool, Munich dan banyak kota lain berhasil tumbuh dan berkembang karena disokong oleh pertalian dengan garam, seperti Timbuktu di Mali dan Afrika. Bahkan selama kejayaan Romawi hingga Abad Pertengahan, Timbuktu menjadi simpul perdagangan garam yang penting bagi Eropa dan Afrika.
Garam juga mengundang pemberontakan dan peperangan. Pada pertengahan abad XVI, penduduk Perugia memberontak dan terlibat perang dengan Takhta Suci gara-gara garam. Perang ini berujung kekalahan Perugia dan menjadikan kota tersebut sepenuhnya di bawah kekuasaan Takhta Suci (hlm. 26).
Dalam paparannya, Prof. Ing Misri Gozan dari Universitas Indonesia juga menandaskan, sekalipun garam tampak begitu sepele sebagai barang konsumsi rumahan sebagaimana kalkukasi kebutuhan garam yaitu hanya 10 gram per hari setiap orang, berarti dikali 365 hari dalam satu tahun, total 3,7 kg. Jika dinominalkan, satu tahun, setiap orang hanya mengeluarkan Rp. 7.500,- untuk membeli garam. Memang tampak sangat remeh.
Tetapi, kerangka pikir yang mesti dipakai dalam memposisikan garam sudah semestinya diubah. Garam harus dilihat dari kepentingan industri yang memainkan ukuran ton bukan gram. Dalam proses industri, industri kaca butuh soda ash -produk kimia yang dibuat dari bahan baku garam. Anjungan-anjungan pengeboran juga butuh garam dalam proses menggali sumur minyak dan gas bumi. Akhirnya, pada tataran industrilah sebetulnya kunci dari swasembada garam Indonesia.
Prof. Dr. Yety Rochwulaningsih, M.Si. yang pada kesempatan itu menjadi moderator diskusi mencatatkan pesan berharga bahwa melalui buku ini, kita sebagai bangsa punya kepercayaan dan kesadaran bersama untuk mencapai swasembada garam.